Keutamaan dan Keuntungan I'tikaf Dibulan Ramadhan

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
Keutamaan dan Keuntungan I'tikaf Dibulan Ramadhan, I’tikaf di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan, I'tikaf Hukum dan Keutamaanya di bulan ramadhan, Prosedur I’tikaf di bulan ramadhan, Makna I’tikaf di bulan ramadhan, Hukum I’tikaf di bulan ramadhan, Hadist Keutamaan Itikaf di bulan ramadhan, hadits tentang i'tikafdi bulan ramadhan, keistimewaan i tikafdi bulan ramadhan, pahala i'tikaf di bulan ramadhan, waktu i'tikaf di bulan ramadhan, i tikaf di rumah di bulan ramadhan, bacaan i tikaf di bulan ramadhan, niat i'tikafdi bulan ramadhan, itikaf di bulan ramadhan,
Keutamaan dan Keuntungan I'tikaf Dibulan Ramadhan

Keutamaan dan Keuntungan I'tikaf Dibulan Ramadhanالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Segala puji bagi tuhan pencipta 2 alam yang maha tinggi lagi maha besar, I'tikaf fadilahnya sangatlah banya selain sunnah rasulullah SAW juga banyak sekali keuntungannya berikut ini adalah Keutamaan dan Keuntungan I'tikaf Dibulan Ramadhan 

I’tikaf di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

Ada hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam kitab beliau Bulughul Marom, yaitu hadits no. 699 tentang permasalahan i’tikaf.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِDari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172).
Beberapa faedah dari hadits di atas:

  • 1. Hadits di atas sebagai dalil mengenai anjuran i’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus merutinkan hal itu hingga beliau meninggal dunia.
  • 2. Hikmah dikhususkan sepuluh hari terakhir dengan i’tikaf dapat dilihat pada hadits Abu Sa’id Al Khudri di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ“Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (HR. Bukhari no. 2018 dan Muslim no. 1167). 
Jadi, beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– melakukan i’tikaf supaya mudah mendapatkan malam lailatul qadar.

  • 3. I’tikaf itu disyari’atkan setiap waktu, namun lebih ditekankan lagi di bulan Ramadhan, lebih-lebih lagi di sepuluh hari terakhir dari bulan suci tersebut.
  • 4. Hukum i’tikaf masih tetap berlaku dan tidak terhapus, juga bukan khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena istri-istri beliau pun beri’tikaf setelah beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– wafat.
  • 5. Dibolehkannya i’tikaf bagi wanita. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa disunnahkan bagi para wanita untuk beri’tikaf sebagaimana kaum pria. 
Namun dengan syarat, (1) i’tikaf tersebut dilakukan dalam keadaan suci -bagi ulama yang mensyaratkan masuk masjid harus suci dari haidh-, (2) harus bebas dari menimbulkan fitnah (godaan bagi pria), dan (3) diizinkan oleh suami.
Kenapa harus diizinkan oleh suami? Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ketika itu ada kecuali dengan izinnya” (HR. Bukhari no. 5195). I’tikaf lebih dari pada itu, wallahu a’lam.
I'tikaf Hukum dan Keutamaanya

I’tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dengan niat I’tikaf. Menurut Mazhab Hanafi, hukum I’tikaf ada 3 macam:
  • 1. I’tikaf wajib. I’tikaf ini menjadi wajib karena nadzar. Misalnya karena mengucapkan,” Jika saya dapat menyelesaikan pekerjaan ini, saya akan beri’tikaf sekian hari.” Atau mungkin tanpa harus ada pekerjaan, misalnya karena mengucapkan,” Saya wajibkan kepada diri saya untuk beri’tikaf selama sekian hari,” maka I’tikafnya menjadi wajib. Dan sekian hari yang ia niatkan, wajib untuk ditunaikan.
  • 2. I’tikaf Sunnah. Yaitu I’tikaf sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. Yakni beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
  • 3. I’tikaf Nafil. Yaitu I’tikaf tanpa batasan waktu dan hari. Kapan saja seseorang berniat I’tikaf, ia dapat melakukannya, bahkan jika berniat I’tikaf selama umur hidupnya, pun diperbolehkan.
Selanjutnya ada perbedaan pendapat tentang batasan waktu I’tikaf yang paling sedikit. Imam Abu Hanifah rah.a., menyatakan bahwa I’tikaf hendaknya tidak kurang dari 1 hari. Sedangkan Imam Muhammad rah.a., berpendapat bahwa boleh beri’tikaf dalam waktu yang singkat. Pendapat inilah yang difatwakan oleh Mazhab Hanafi. Oleh sebab itu, sangat penting bagi setiap orang untuk niat I’tikaf setiap kali memasuki masjid, sehingga ketika ia melaksanakan sholat atau beribadah lainnya selama berada di masjid, ia akan mempeoleh pahala I’tikaf.

Pahala i’tikaf itu sangat banyak dan demikian pula dengan keutamaannya, sehingga Rasulullah senantiasa memperhatikannya. Perumpamaan orang yang beri’tikaf adalah seperti orang yang pergi ke rumah orang lain untuk meminta hajatnya seraya berkata,” Selama hajatku belum terpenuhi, aku akan tetap tinggal di sini.”

Jiwaku keluar bersimpuh di bawah kaki-Mu
Inilah hati yang mengharap pada-Mu

Seandainya hal itu dilakukan, bahkan hati tuan rumah yang sekeras batu, niscaya akan melunak. Bagaimana dengan Allah Yang Maha Pemurah, yang Kerahiman-Nya sangat luas tak terbatas?

Engkaulah yang Maha Pemberi
Rahmat-Mu senantiasa terbuka bagi setiap hati
Bertanyalah tentang keadaan Musa dengan Tuhannya
Ia pergi untuk mengambil api, tetapi ia malah menjumpai kenabian

Oleh sebab itu, orang yang memutuskan hubungannya dengan dunia lalu pergi berdiam di rumah Allah, apakah ada keraguan bahwa ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan? Dan jika Allah telah memberinya, siapakah yang mampu menghitung simpanan-Nya? Tidak ada seorangpun yang sanggup menjelaskan sesuatu yang tidak terbatas.

Ibnul Qayyim rah.a., menjelaskan bahwa tujuan I’tikaf adalah untuk menghubungkan hati dengan Allah SWT, dengan mengalihkan hati dari segala sesuatu selain Allah SWT dan mengubah segala kesibukan kita dengan menyibukkan diri dengan-Nya serta mengalihkan segala sesuatu dari selain Dia dan hanya tertuju kepada-Nya. Segala angan-angan dan pikiran semata-mata untuk mengingat-Nya dan menumbuhkan kecintaan kepada-Nya, sehingga tumbuh kecintaan yang dalam kepada-Nya sebagai pengganti cinta kepada makhluk. Cinta seperti inilah yang akan membahagiakan kita di tengah siksa kubur, yang pada saat itu tak seorangpun dari yang kita cintai dapat membahagiakan kita kecuali Allah SWT. Jika hati ini telah mencintai-Nya, maka betapa indah dan nikmat waktu yang akan berlalu bersama-Nya.

Penyusun kitab Maraqil Falah menulis bahwa jika I’tikaf dilakukan dengan ikhlas, maka I’tikaf tersebut merupakan ibadah yang paling utama. Selain itu, keistimewaan I’tikaf adalah perhitungan pahalanya tidak terbatas, misalnya jiwa akan dibersihkan dari segala ketergantungan pada dunia dan berpaling semata-mata kepada Allah SWT dan bersimpuh di hadapan-Nya. Oleh sebab itu, jika ia beri’tikaf, ia akan dicatat dalam keadaan beribadah sepanjang waktunya. Tidur atau terjaganya dinilai sebagai ibadah dan ia akan bertambah dekat kepada Allah SWT. Sebuah hadits menyebutkan bahwa Allah berfirman,” Barangsiapa mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati-Ku sehasta, Aku akan mendekatinya sedepa. Barangsiapa mendekati-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekatinya dengan berlari.”

Jika seseorang beri’tikaf di rumah Allah, Allah SWT akan memuliakan siapa saja yang mendekati rumah-Nya, sehingga ia pasti akan berada dalam lindungan-Nya. Bahaya musuh dan segala sesuatu yang membahayakan tidak akan menimpanya. Masih banyak lagi keutamaan dan keistimewaan I’tikaf.

Prosedur I’tikaf

Bagi kaum laki-laki, masjid yang paling utama untuk I’tikaf adalah Masjidil Haram di Makkah, lalu Masjid Nabawi di Madinah Al Munawwarah , selanjutnya Masjid Baitul Maqdis di Palestina, lalu masjid Jami’ dan terakhir masjid – masjid di kampung kita masing-masing. Imam Hanafi rah.a., menetapkan bahwa masjid yang digunakan untuk I’tikaf adalah masjid yang biasa digunakan untuk sholat 5 waktu berjama’ah. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad rah.hima., masjid yang sesuai dengan syariat dapat digunakan untuk beri’tikaf walaupun belum digunakan untuk sholat berjamaah 5 waktu.

Sedangkan bagi kaum perempuan, mereka hendaknya beri’tikaf di masjid/ musholla yang ada di dalam rumahnya. Jika tidak ada musholla di dalam rumah, sebaiknya disediakan sebuah kamar atau ruangan khusus, atau sudut rumah yang khusus untuk I’tikaf. Dengan demikian I’tikaf jauh lebih mudah untuk kaum wanita daripada kaum laki-laki. Kaum perempuan itu cukup duduk di rumahnya, sedangkan pekerjaan-pekerjaan rumahnya dapat dikerjakan oleh anak-anaknya ,dan ia akan tetap mendapatkan pahala I’tikaf. Namun sayangnya, meskipun I’tikaf bagi kaum wanita itu mudah, banyak di antara mereka yang tidak mengamalkannya.

Mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala menjadikan seluruh amalan kita sebagai timbangan kebajikan kelak nanti di akherat, Amin ya Rabbal 'Alamin.

Makna I’tikaf 

Menurut bahasa i’tikaf memiliki arti menetapi sesuatu dan menahan diri agar senantiasa tetap berada padanya, baik hal itu berupa kebajikan ataupun keburukan.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ artinya,
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang beri’tikaf (menyembah) berhala mereka.” (QS. al-A'raf :138) 
Sedangkan menurut syara' i’tikaf berarti menetapnya seorang muslim di dalam masjid untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta'ala.

Hukum I’tikaf 

Para ulama sepakat bahwa i'ktikaf hukumnya sunnah, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa melakukannya tiap tahun untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala dan memohon pahala-Nya. Terutama pada hari-hari di bulan Ramadhan dan lebih khusus ketika memasuki sepuluh hari terkahir pada bulan suci itu. Demikian tuntunan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hadist Keutamaan Itikaf 

Dari Abu Sa’id Al Khudri r.a., bahwa Rasulullah saw beri’tikaf pada sepuluh hari awal Ramadhan, kemudian dilanjutkan pada sepuluh hari pertengahan di sebuah kemah Turki, lalu Beliau mengulurkan kepalanya seraya menyeru manusia, maka orang-orang pun mendatanginya. Lalu beliau bersabda,” Aku telah beri’tikaf sejak sepuluh hari awal bulan ini untuk mendapatkan Lailatul Qadr, kemudian sepuluh hari pertengahan. Lalu dikatakan kepadaku bahwa Lailatul Qadar itu ada di sepuluh hari yang terakhir. Maka barangsiapa ingin beri’tikaf, I’tikaflah pada sepuluh malam terakhir.” Lalu orang-orang pun beri’tikaf bersama beliau. Beliau bersabda,” Aku bermimpi melihat Lailatul Qadar pada malam ini, tetapi dibuat lupa, dimana pada pagi-pagi aku sujud di tanah yang basah. Maka carilah pada sepuluh malam terakhir dan carilah pada malam-malam yang ganjil.” Memang malam itu hujan, sehingga masjid tergenang air. Setelah selesai sholat shubuh, Rasulullah saw keluar sedangkan di kening beliau menempel tanah basah. Malam itu adalah malam ke-21 dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” ( Hadits Bukhari, Muslim- Misykat )

I’tikaf pada bulan Ramadhan adalah amalan yang biasa dilakukan oleh Nabi saw. Pada bulan ini, beliau beri’tikaf selama sebulan penuh. Dan pada tahun terakhir di akhir hayatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari. Karena kebiasaan beliau yang amat mulia itu ( I’tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ), maka para ulama berpendapat bahwa I’tikaf selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan adalah sunnah muakaddah.

Berdasarkan hadits di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan utama I’tikaf adalah mencari malam Lailatul Qadar. Pada hakikatnya, Lailatul Qadar hanya dapat dicari melalui I’tikaf. Inilah cara yang lebih tepat, sebab ketika seseorang beri’tikaf, walaupun ia tertidur, ia tetap dianggap beribadah. Selain itu, ketika beri’tikaf, seseorang tidak pulang pergi ke sana ke mari. Maka tidak ada kesibukan bagi orang yang beri’tikaf kecuali beribadah dan mengingat Allah SWT. Oleh sebab itu, tidak ada sesuatu yang paling baik bagi orang yang menghargai Lailatul Qadar dan mencarinya selain beri’tikaf.

Pada mulanya, selama bulan Ramadhan penuh, Rasulullah saw biasa memperhatikan amal-amal ibadah, namun pada sepuluh hari yang terakhir, beliau beribadah tanpa mengenal batas waktu. Beliau bangun malam dan membangunkan keluarganya untuk beribadah, sebagaimana yang diceritakan Aisyah r.ha. Dalam hadits Bukhari dan Muslim disebutkan,” Selama sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah saw lebih mengencangkan ikat sarungnya dan bangun malam, serta membangunkan keluarganya untuk beribadah.” Maksud mengencangkan ikat sarungnya adalah, beliau lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah daripada hari-hari lainnya, atau dapat juga bermakna bahwa beliau tidak berhubungan dengan istri-istri beliau pada hari-hari tersebut.

Keutamaan dan Keuntungan I'tikaf Dibulan Ramadhan, I’tikaf di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan, I'tikaf Hukum dan Keutamaanya di bulan ramadhan, Prosedur I’tikaf di bulan ramadhan, Makna I’tikaf di bulan ramadhan, Hukum I’tikaf di bulan ramadhan, Hadist Keutamaan Itikaf di bulan ramadhan, hadits tentang i'tikafdi bulan ramadhan, keistimewaan i tikafdi bulan ramadhan, pahala i'tikaf di bulan ramadhan, waktu i'tikaf di bulan ramadhan, i tikaf di rumah di bulan ramadhan, bacaan i tikaf di bulan ramadhan, niat i'tikafdi bulan ramadhan, itikaf di bulan ramadhan,
Load disqus comments

0 komentar